Berbeda dengan periode Orde Lama, pada era Orde Baru, industri
merupakan sektor prioritas utama. Untuk mendukung pembangunan industri
nasional, pemerintah menganut dua strategi industrialisasi yang berbeda yang dijalankan
secara berturut-turut, yakni diawali dengan substitusi impor dengan penekanan
pada industri-industri padat karya seperti tekstil dan produk-produknya,
seperti pakaian jadi (TPT), alas kaki, produk-produk dari kayu (khususnya kayu
lapis), dan makanan serta minuman, dan dilanjutkan belakangan dengan
pembangunan industri-industri perakitan otomotif, dan kemudian pada awal dekade
80-an bergeser secara bertahap ke promosi ekspor. Strategi kedua ini terfokus
pada pengembangan industri-industri padat karya yang berorientasi ekspor.
Selama periode Orde Baru, ekonomi Indonesia telah mengalami
suatu perubahan struktural yang besar dari suatu ekonomi dimana sektor
pertanian memainkan suatu peran yang sangat dominan di dalam
pembentukan/pertumbuhan PDB Indonesia ke suatu ekonomi dimana sumbangan PDB
dari sektor tersebut menjadi sangat berkurang. Pada tahun 1965, kontribusi
pertanian tercatat sekitar 56 persen dan tahun 1997 tinggal 16 persen dari PDB,
atau hanya sepertiga dari pangsanya tahun 1965 (Gambar 2). Sementara itu
industri manufaktur tumbuh sangat pesat pada kisaran 13 persen rata-rata per
tahun selama periode 1975-97. Ini membuat pangsa PDB dari industri manufaktur
naik dari sekitar 8 persen tahun 1965 melewati sektor pertanian tahun 1991, dan
tahun 1995 menjadi sekitar 24 persen dari PDB Indonesia, tiga kali lebih besar
dari pangsanya tahun 1965. Biasanya, sektor-sektor sekunder lainnya seperti
konstruksi, transportasi, dan listrik, gas dan suplai air bersih, dan juga
sektor-sektor tersier seperti keuangan dan jasa lainnya ikut berkembang
mengikuti perkembangan industri, atau sektor-sektor sekunder (selain industri)
dan tersier semakin penting dalam proses industrialisasi. Karena perkembangan
industri dengan sendirinya menciptakan permintaan terhadap sektor-sektor
non-primer tersebut. Perkembangan industri memerlukan infrastruktur seperti
jalan-jalan raya, kompleks-kompleks industri dan gedung-gedung perkantoran, dan
juga jasa-jasa keuangan dan penyewaan (lisensi). Sektor jasa juga menunjukkan
suatu tren yang positif selama periode tersebut.
Perkembangan Industri Nasional
Tidak hanya karena pertumbuhan ekonominya yang pesat yang bisa
berlangsung terus dalam suatu jangka waktu yang lama, tetapi juga karena
pembangunan industrinya yang sangat pesat, Indonesia sempat masuk di dalam
kelompok negara-negara Asia Tenggara dan Timur yang dijuluki “East Asian
economic miracle.” (Hill, 1996). Bahkan di dalam kelompok ini yang termasuk
Hong Kong, Jepang, Malaysia, Korea Selatan, Taiwan, Thailand dan Singapura, kemajuan
ekonomi Indonesia pada saat itu dianggap sangat impresif terutama untuk
pencapaian dalam pembangunan sektor industrinya. Juga, Indonesia sangat berbeda
dengan negara-negara penghasil minyak lainnya yang tergabung dalam
negara-negara pengekspor minyak (Organisation of Petroleum Exporting
Countries/OPEC) untuk kemajuan sektor industri manufakturnya. Bahkan selama
periode 1980-an dan 1990-an, Indonesia sempat menjadi salah satu pemain kunci
dalam sejumlah industri, dari minyak kelapa sawit ke TPT hingga elektornik
(USAID dan SENADA, 2006). Jadi, dapat dikatakan bahwa perkembangan dan
pertumbuhan output industri manufaktur yang pesat merupakan karakteristik utama
dari ekonomi Indonesia selama era Orde Baru.
Sebelum era Orde Baru (1966), ekonomi Indonesia masuk ke dalam
suatu periode stagnasi yakni pada saat mana praktis tidak ada pertumbuhan PDB
dan output industri yang berarti yang dikombinasikan dengan meroketnya inflasi
dan menurunnya pendapatan per kapita. Setelah Orde Lama diganti dengan Orde
Baru, PDB mulai menunjukkan pertumbuhan yang pada awalnya hanya sekitar 5
persen rata-rata per tahun hingga jatuhnya harga minyak di pasar dunia pada
tahun 1982, setelah itu mulai meningkat yang mencapai rata-rata 7 persen per
tahun hingga 1997.
Pada awal Orde Baru, industri manufaktur relatif lambat
berkembang. Misalnya, berdasarkan data BPS, nilai produksi industri manufaktur
tahun 1969 tercatat hanya 1,42 miliar dollar AS. Salah satu faktor penghambat
yang terpenting adalah devisa negara yang terbatas. Karena industri asli lokal
masih sedikit, hampir semua jenis mesin harus diimpor. Kelangkaan devisa ini
menyebabkan pemerintah harus mengadakan pengawasan ketat atas impor, dan
pembatasan ini merupakan kendala serius bagi Indonesia untuk membangun
industri-industri. Namun pada tahun-tahun berikutnya pertumbuhan output
industri mulai membesar dan pada akhir tahun 1983, output manufaktur tercatat
sekitar 7,84 miliar dollar AS.
Laju pertumbuhan output di industri manufaktur selalu lebih
besar daripada pertumbuhan produksi di industri migas, yang membuat industri
manufaktur mempunyai suatu pengaruh yang non-proporsional terhadap pertumbuhan
ekonomi Indonesia. Oleh karenanya, ekonomi Indonesia bisa bergerak mengurangi
tingkat ketergantungannya pada migas dan bisa tumbuh pesat walaupun output di
sektor pertanian tumbuh dengan laju per tahun yang rendah.
Ada beberapa faktor yang memungkinkan pertumbuhan yang sangat
pesat tersebut. Pertama, iklim ekonomi Indonesia pada akhir 1960-an telah
mengalami perbaikan yang sangat berarti akibat kebijaksanaan stabilisasi,
rekonstruksi dan rehabilisasi ekonomi yang langsung dilakukan oleh pemerintah
Orde Baru setelah peralihan kekuasaan dari Orde Lama. Kedua, sejumlah tindakan
konkrit yang dilakukan pemerintah Orde Baru yang bertujuan memberikan peluang
yang lebih besar bagi kekuatan pasar melalui usaha menghilangkan kontrol ketat
pemerintah pada zaman Orde Lama. Diantaranya adalah liberalisasi perdagangan
internasional, khususnya melalui penghapusan berbagai pengawasan terhadap
ekspor dan impor serta penghapusan system kurs devisa berganda yang rumit yang
telah menjadi cirri kebijaksanaan ekonomi Orde Lama. Ketiga, perlakuan khusus
yang sebelumnya dinikmati hanya oleh BUMN-BUMN (seperti subsidi) dikurangi.
Keempat, dikeluarkannya undang-undang investasi yang menandakan mulainya era
liberalisasi investasi di dalam negeri, yakni UU Penanaman Modal Asing (PMA)
tahun 1967 dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tahun 1968). UU investasi
ini bukan hanya memberikan peluang tetapi juga landasan hokum yang kuat bagi
para investor asing dan domestik untuk menanamkan modal mereka di berbagai
kegiatan produktif, termasuk sektor industri, di Indonesia. Kelima, akibat
kekurangan besar akan berbagai macam barang jadi yang muncul dalam tahun-tahun
terakhir rezim Orde Lama. Kondisi pasar seperti secara potensial menimbulkan
permintaan yang sangat besar dan hal ini menjadi suatu perangsang bagi
pertumbuhan industri di dalam negeri. Terutama bagi industri-industri yang
selama Orde Lama beroperasi jauh di bawah tingkat optimal karena berbagai
alasan seperti tidak tersedianya bahan-bahan baku, suku-suku cadang, dan
komponen-komponen atau sulit mengimpor input-input tersebut akibat kekuarangan
devisa, kondisi pasar yang demand-excess seperti ini adalah suatu kesempatan
besar bagi industri-industri tersebut meningkatkan produksi mereka sesuai
kapasitas terpasang mereka pada saat itu tanpa perlu investasi baru secara
besar-besaran. Keenam, tersedianya devisa dalam jumlah yang banyak sesudah
tahun 1998 akibat kenaikan yang pesat dari ekspor minyak bumi dan
mineral-mineral non-minyak dan kayu gelondongan serta arus modal dari luar baik
dalam bentuk bantuan luar negeri maupun PMA. Ketujuh, pola industrialisasi
substitusi impor yang ditempuh pemerintah Orde Baru, yang memungkinkan
pertumbuhan produksi dalam negeri terutama untuk barang-barang jadi
Memang pada awal era Orde Baru, pemerintah beralasan kuat untuk
menganut kebijakan-kebijakan investasi dan perdagangan terbuka. Karena pada
saat itu, pemerintahan Soeharto menyadari bahwa ini satu-satunya cara untuk
menarik investasi dan bantuan pendanaan dari luar, khususnya dari dunia barat,
yang sangat diperlukan untuk memulihkan kembali perekonomian nasional yang
sudah sangat buruk peninggalan Orde Lama. Namun pada akhir 1970-an, pemerintah
kembali ke regim proteksi dan memperbesar intervensi langsungnya, terutama
menyangkut pembangunan industri. Paling tidak ada empat jalur lewat mana
pemerintah melakukan intervensi pada era 80-an.
Produksi makanan dan kayu merupakan jenis-jenis kegiatan
industri yang mana Indonesia memiliki keunggulan komparatif atas negara-negara
lain. Keunggulan komparatif Indonesia dalam produksi makanan dan kayu
diantaranya adalah tenaga kerja yang murah dan membuat makanan dan
produk-produk dari kayu adalah kegiatan-kegiatan industri padat karya, dan kaya
SDA (pertanian dan hutan pohon yang luas). Tentu, dengan kemajuan teknologi
saat ini, Indonesia juga harus mengembangkan keunggulan kompetitifnya seperti
kualitas SDM dan teknologi untuk tetap unggul di pasar dunia untuk kedua jenis
produk tersebut. Karena bukan tidak mungkin bahwa suatu saat sebuah negara
kecil yang sedikit jumlah penduduknya (yang berarti upah tenaga kerja relatif
lebih mahal daripada di Indonesia) dan miskin SDA (sehingga harus impor
komoditi pertanian dan kayu) bisa menjadi unggul dalam ekspor produk-produk
makanan dan kayu, karena negara tersebut memiliki SDM, menguasai teknologi
paling akhir dalam produksi makanan dan kayu, dan memiliki jaringan pemasaran
global yang luas.
Kelemahan industri Indonesia seperti juga di banyak NSB lainnya
adalah masih lemahnya industri-industri pendukung mulai dari pembuatan mesin
hingga sejumlah komponen untuk satu produk jadi seperti mobil. Karena pada
umumnya sifat dari proses-proses produksi di kelompok industri-industri berat
seperti pengolahan logam hingga mesin-mesin sangat kompleks dan memerlukan SDM
dengan ketrampilan tinggi, teknologi, dan modal yang lebih tinggi dibandingkan
industri-industri ringan, walaupun di dalam beberapa hal, proses produksi
implosive di subsektor industri berat untuk jenis industri-industri enjiniring
bisa dilakukan secara efisien dengan menggunakan teknologi yang relatif padat
karya.
Secara keseluruhan, masih ada beberapa kelemahan yang bisa
dilihat dari pembangunan industri nasional hingga saat ini. Pertama, seperti
telah dijelaskan sebelumnya, walaupun selama tiga puluh tahun lebih sejak
Indonesia memulai industrialisasi pada awal pemerintahan Orde Baru sempai
sekarang, industri nasional telah mengalami perluasan struktur, bobotnya masih
lebih berat pada kelompok industri ringan, khususnya barang-barang konsumsi
ringan seperti makanan, minuman, tembakau, tekstil dan kayu. Selain itu,
walaupun sepanjang periode tersebut banyak muncul industri-industri yang
menghasilkan bahan-bahan baku dan penolong, sebagian besar dari NT yang
dihasilkan oleh industri-industri tersebut berasal dari cabang-cabang industri
yang sifat dari pengolahan bahan-bahan bakunya tidak memerlukan suatu mata
rantai yang panjang untuk langsung menjadi barang-barang jadi seperti tekstil
atau tekstil menjadi pakaian jadi, dan kayu menjadi meubel dan kertas.
Kedua, sebagian besar cabang-cabang industri yang mengolah
bahan-bahan baku dan penolong memiliki tahap-tahap produksi yang relatif pendek
dan hanya mencakup proses implosive pada tahap-tahap paling akhir. Hal ini
dapat dilihat dari data perdagangan internasional Indonesia menurut jenis
industri yang menunjukkan tingginya kandungan impor dari produk-produk
tersebut. Hingga saat ini sebagian besar dari cabang-cabang industri tersebut
masih lebih bersifat sebagai industri-industri perakitan, terkecuali
industri-industri pupuk, karet, kayu, semen dan pengilangan minyak.
Ketiga, walaupun ada perkembangan selama tiga dekade terakhir
ini, kontribusi terhadap pembentukan NT dari industri manufaktur atau PDB pada
tingkat lebih luas dari industri-industri dasar atau hulu seperti besi baja
masih relatif kecil. Padahal, kemajuan pembangunan sektor industri atau
peningkatan industrialisasi di suatu negara dicerminkan juga oleh peningkatan
pangsa NT dari industri manufaktur atau PDB dari industri besi baja. Hal ini
disebabkan belum berkembangnya industri-industri barang modal atau lainnya di
dalam negeri yang memakai output dari industri besi baja sebagai inputnya. Dalam
kata lain keterkaitan produksi domestik dari industri besi baja ke depan dengan
industri-industri tengah masih lemah: industri-industri hilir yang memerlukan
mesin atau komponen atau barang lainnya berbahan baku besi atau baja masih
impor dari luar, sementara output dari industri besi baja di Indonesia langsung
di ekspor shingga tidak menghasilkan NT yang berarti di dalam negeri.
Keempat, secara umum, ketergantungan impor dari industri
nasional masih sangat tinggi, terutama kelompok industri-industri tengah yang
membuat bahan-bahan baku dan penolong, barang-barang modal dan alat-alat
produksi, dan kelompok industri-industri hilir, khususnya barang-barang
konsumsi tahan lama. Akibatnya sumbangan NT dari industri-industri tersebut
masih relatif kecil; walaupun untuk industri-industri tertentu ada kenaikan
selama tiga dekade terakhir ini. Salah satu penyebabnya adalah bahwa sebagian
besar dari industri-industri tersebut masih bersifat perakitan, dan
industri-industri penunjang belum berkembang baik.
Kelompok :
Cindyta Meidiana ( 21216629 )
Dwi Fajar Wati ( 22216182 )
Shifa Baity N ( 27216007 )
referensi :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar